19 October 2014

Mengenal Ruwaq di Masjid Azhar - Mesir

(Azhar 1870)
Ruwak (الرواق) secara bahasa dapat diartikan sebagai bangunan beratap yang berada di masjid, gereja, atau tempat peribadahan yang lain dengan fungsi sebagai tempat belajar. Bangunan ini biasanya dibangun setelah bangunan utama berdiri. Ruwak juga dapat diartikan sebagai ruang tamu, bila disandarkan kepada kata rumah ( Ruwaq al-bait ). Disamping itu ruwak juga digunakan untuk menamai sebuah pojok ruangan yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan bertukar pikiran.[1]

Pengggunaan kata ruwak merujuk kepada sejarah Yunani kuno dimana para pelajar dari filosof Zeno dinamakan dengan Zenonians. Filosof Yunani ini dalam kosakata bahasa arab dinamakan dengan Zenoun ar-Ruwaqy. Sedang anak muridnya dinamakan denga ar-Ruwaqiyun. Perlu dituturkan disini bahwa Zeno merupakan pelopor filsafat Stoa. Dia dilahirkan di Citium pada tahun 334 SM, datang ke Athena untuk belajar kepada Xenocrates, murid sekaligus keponakan Plato pada tahun 312/311 SM dan meninggal di Athena pada tahun 262 SM.[2]

Pengertian ruwak secara istilah tidak jauh berbeda dengan pengertian ruwak secara bahasa. Ruwak adalah bangunan tambahan yang berada di sekitar masjid dengan fungsi sebagai tempat tinggal santri sekaligus tempat kegiatan belajar mengajar. Gambaran ruwak secara fungsional dan tata letak bangunannya dapat kita temukan dalam fungsi dan tata letak pesantren salaf. Hanya saja, bangunan ruwak seakan menyatu dengan masjid, sedang bangunan pesantren berdiri sendiri dan terpisah dari masjid.

Masjid al-Azhar sebagai corong penyebaran Syi’ah Ismailiah sebagai madzhab resmi dinasti Fathimiah sudah mengenal istilah ruwak. Penambahan bangunan ruwak di masjid al-Azhar konon mengadopsi bangunan masjid Qairuwan. Akan tetapi, fungsi dari ruwak pada dinasti Fathimiah hanya sebatas sebagai tempat pengajian. Sedang fungsi ruwak sebagai tempat tinggal belum dikenal. Hal ini terekam dalam ketentuan yang diberlakukan oleh Ya’kub bin Killis, seorang wazir dari Halifah al-‘Aziz Billah, Halifah kedua dinasti Fathimiah yang memprakarsai pembibitan kader-kader ulama syiah dengan cara memilih 35 kader terbaik yang digembleng husus untuk mendalami ajaran Syiah Ismailiah tanpa harus memikirkan kebutuhan hidup mereka selama belajar. Ya’kub menjamin kebutuhan hidup sehari-hari mereka dan memberikan tempat tinggal di sekitar masjid al-Azhar.

Fungsi ruwak sebagai tempat tinggal dan tempat belajar mengajar baru dikenal semenjak Mesir dibawah pemerintahan dinasti Mamalik. Kegiatan keagamaan dan semarak keilmuan di masjid al-Azhar dihidupakn kembali setelah mengalami vakum selama sembilan puluh delapan tahun. Hal itu berlangsung sejak dinasti Ayubiyah memerintah mesir sampai pada tujuh belas tahun awal dari dinasti Mamalik. Pembukaan masjid al-Azhar sebagai pusat keilmuan ditandai dengan pelaksanaan shalat Jum’at pada tanggal 18 Rabi’ul Awwal tahun 665 H. bertepatan dengan tanggal 17 Desember tahun 1268 H. Sejak pembukaan itulah semarak keilmuan di al-Azhar kembali seperti semula. Hanya saja, ada perbedaan mencolok dari kajian keilmuan di zaman dinasti Fathimiah dan dinasti Mamalik. Bila pada zaman dinasti Fathimiah materi syiah adalah materi utama, pada zaman Mamalik tidak ada lagi materi syiah dalam pengajian, berganti dengan materi fikih madzahib arba’ah, terutama madzhab Syafi’i sebagai madzhab dengan pemeluk terbanyak di  wilayah Mesir dan juga warisan dari madzhab resmi dinasti sebelumnya, dinasti Ayubiyah.

(Abad ke-10 hingga ke-18)
Dinasti Mamalik merupakan dinasti yang sangat perhatian terhadap keberlangsungan syiar al-Azhar. Renovasi total dan berbagai perbaikan baik administrasi maupun kwalitas fisik bangunan dilakukan oleh dinasti ini. Diantara perbaikan dalam hal administrasi adalah adanya Ijazah keilmuan meliputi Ijazah tadris wal futya, ijazah penguasaan terhadap salah satu kitab dan ijazah pengakuan keilmuan  yang diberikan kepada ulama dari daerah lain. Caranya adalah pihak yang berkepentingan mengajukan permintaan kepada ulama al-Azhar kemudian dari pihak al-Azhar mempelajari biografi dan keilmuan orang tadi untuk kemudian menjatuhkan pilihan untuk memberikan ijazah atau tidak.

Prakarsa untuk menampung jumlah santri yang lebih banyak diwujudkan dengan mendirikan tiga madrasah; madrasah Thibrisiyah,  madrasah Aqbughawiyah dan madrasah Jauhariyah. Selain itu ada juga penambahan ruwak dan perbaikan-perbaikan terhadap ruwak yang sudah ada. Diantaranya adalah perbaikan total terhadap ruwak Magharibah setelah mengalami banjir bandang.

Hal yang tidak kalah penting untuk disebutkan dalam perjalanan al-Azhar dalam masa pemerintahan dinasti Mamalik adalah kembalinya aset-aset milik al-Azhar yang terbengkalai dan diserobot oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab pada masa dinasti Ayubiyah. Selain itu, pengelolaan yang baik pada aset-aset tadi memberikan jaminan kehidupan yang layak pada semua santri sehingga dapat belajar dengan fokus tanpa harus memikirkan biaya hidup dan kebutuhan sehari-hari.

Pada perkembangan selanjutnya, yaitu ketika Mesir berada dibawah pemerintahan kehalifahan Turki Usmani, kegiatan belajar mengajar di ruwak semakin semarak. Pada saat itu tercatat ada dua puluh sembilan ruwak. Ruwak-ruwak tersebut diklasifikasikan menurut daerah, madzhab tertentu dan ruwak  dengan penghuni bebas, yakni tidak menyaratkan harus berasal dari daerah tertentu dan memeluk madzhab tertentu. Salah satu ruwak yang dihususkan untuk dihuni oleh santri yang berasal dari nusantara adalah Ruwak Jawa.

Ruwak Jawa berada di No. 17. (zoom guna lebih jelas) - Perpus Aleksandria
Ruwak Jawa merupakan suatu ruangan yang tidak terlalu lebar yang berada diantara Ruwak Syawam[3] dan Ruwak Sulaimaniyah. Tidak tahu secara pasti kapan berdirinya, yang jelas Ruwak Jawa hanya dihuni sekitar sepuluh orang. Dr. Abdul Aziz Muhamad al-Syinawi[4] menuturkan bahwa jatah makananan untuk penghuni Ruwak Jawa hanya sebelas roti dengan ketentuan mengambilnya satu kali dalam dua hari. Sedikitnya warga nusantara yang menimba ilmu di al-Azhar erat kaitannya dengan animo warga nusantara yang pada waktu itu menempatkan Haramain sebagai tujuan utama  mencari ilmu. Faktor lain adalah sulitnya transportasi dari tanah air ke Mesir. Hal membanggakan yang dicatat oleh ruwak Jawa adalah ruwak ini pernah diberkahi oleh Syaikh Nawawi al-Bantani dan mencetak ulama-ulama yang bersumbangsih kepada dunia keislaman lewat karya-karyanya. Karya-karya mereka dapat diakses di maktabah Mushtafa el-Babil Halabi.

[Ruwaq Jawi/Adhi Maftuhin]
______________________________________________________
[1] Al-Mu’jam al-Wajiz, cet. 2008, hal. 282, wizârât tarbiyah wa ta’lim

[2] Ibid hal 282. http://bit.ly/1jlgEXY

[3] Ruwak ini sekarang beralih fungsi menjadi kantor polisi.

[4] Dr. Abdul Aziz al-Syinawi, al-Azhar jâmi’an wa jâmi’atan, hal. 238, maktabah usrah, tahun terbit 2013. sebagian besar konten dari tulisan ini merujuk kepada buku tersebut diatas.

**Ada yang menyebut JAWA dan ada yang menyebut JAWI (dengan ya' nisbat). Sama saja dan tidak perlu diperdebatkan hanya karena nama suku.


Tim website Komunitas Sarkub Mesir.