06 August 2019

Grand Syekh Al-Azhar ke-34: Syekh Muhammad Al-Ahmadi Al-Dzowahiri

Makam Syekh Al-Dzowahiri (@sarkub_mesir)
Syekh Muhammad Al-Ahmadi Al-Dzowahiri
Grand Syekh Al-Azhar ke-34; dan
Tokoh yang membidani lahirnya Universitas Al-Azhar modern

Nama

Beliau bernama Muhammad Al-Ahmadi bin Ibrahim bin Ibrahim dari kabilah Al-Dzawahiri. Terlahir di desa Kafr Al-Dzawahiri, provinsi Al-Syarqiyah, Mesir pada tahun 1295 H./1887 M. dari sebuah keluarga yang dihiasi ilmu dan ketakwaan. Ayahnya termasuk ulama pilihan, seorang syekh di Al-Azhar yang "mutasowwif" (mengamalkan tasawuf). Oleh sebab itulah, ayahnya memberi nama Muhammad dengan tambahan Al-Ahmadi di akhir dengan mengharap berkah dan kebaikan seperti pada Sidi Ahmad Al-Badawi, wali besar di kota Tanta, Mesir.

Seperti lazimnya para ulama Mesir, beliau menghafalkan Alquran sejak kecil di kampung serta belajar beberapa fan-ilmu sebelum melanjutkan di Kairo, di bawah naungan masjid Al-Azhar.

Masa Perantauan

Syekh Muhammad Al-Ahmadi merantau ke Kairo dan belajar pada beberapa ulama sepuh Al-Azhar saat itu. Namun, dari beberapa guru terdapat seorang guru favoritnya. Ialah Syekh Muhammad Abduh yang tidak lain adalah teman ayahnya.

Dalam kaitannya dengan Syekh Muhammad Abduh, terdapat suatu kisah yang disampaikan oleh Syekh Ahmad Taha Rayyan dalam suatu pengajian di serambi Al-Azhar. Kisahnya begini. Dulu, sebelum Syekh Muhammad Al-Ahmadi maju untuk sidang gelar "Alimiyah" di Al-Azhar, ayahnya membawanya pergi berziarah ke Imam Syafii tepat sehari sebelum hari itu. Ini juga sekaligus menjadi bukti menarik bahwa meskipun Syekh Muhammad Al-Ahmadi seorang pengagum Syekh Muhammad Abduh, ia masih kental dengan ajaran tasawuf seperti yang dicontohkan ayahnya. Ia masih "mau" berziarah.

Saat bertawasul di depan makam Imam Syafii, Syekh Muhammad Al-Ahmadi terbersit dalam hati bahwa apa iya doa yang dikemas apik bersama tawasulnya bakal terkabul. Dalam doanya ia begitu berharap sidang yang akan digelar esok hari bisa lancar dan memuaskan. "Kalau memang doa & tawasul ini bakal Engkau kabulkan dengan lantaran wali besar ini, Ya Allah, berikan hambamu isyarat bahwa doaku diterima.", katanya dalam hati.

Belum 5 menit berlalu sejak bertawasul, seorang majedub yang saat itu ada di dalam ruangan makam Imam Syafii berteriak dan memanggil. "Ya Ahmadi! Ya Dzowahiri! Sini!", katanya. Seorang majedub itu memberinya uang receh sekian miliem (receh Mesir zaman dulu) dan mendoakan untuk kelancarannya.

Keesokan harinya, Syekh Muhammad Al-Ahmadi sedikit was-was karena ternyata salah satu dari dewan penguji adalah guru favoritnya: Syekh Muhammad Abduh yang saat itu menggantikan seorang syekh yang berhalangan. Kekhawatirannya berdasar. Tentu karena ayahnya ialah seorang "mutasowwif" yang kental, penganut laku tasawuf. Begitu berkebalikan dengan guru pengujinya yang ia kagumi.

Sidang pun berakhir tentu setelah didahului kesiapan zahir dan batin yang matang dari seorang Al-Ahmadi. Ia berhasil mendapat derajat tertinggi; "darajah ula" (alimiyah) yang saat itu berarti ia berhak mengajarkan sekian fan-ilmu tanpa terkecuali. Bahkan Syekh Muhammad Abduh memujinya dengan kalimat yang agaknya sedikit dibumbui candaan, "Laqod Fatahallahu Alaik ya Ahmadi! Allah benar-benar telah membuka wawasan untukmu! Demi Allah, engkau lebih alim dari ayahmu. Jika saja ada nilai lebih tinggi dari darojah-ula, aku beri untukmu itu."

Masa Kepemimpinan

Syekh Muhammad Al-Ahmadi menjabat Syekhul Azhar (Grand Syekh) pada 10 Oktober 1929 setelah sebelumnya melewati karir akademis dari menjadi pengajar di Ma'had Tanta Al-Diini (dulu di Mesir hanya ada 5 ma'had) hingga menjadi orang nomer satu di institusi itu. Selain itu, beliau juga sempat diutus bersama kafilah lain untuk mengikuti muktamar 1926 pasca Ibnu Saud menguasai daratan Hijaz. Muktamar yang sama yang diikuti Komite Hijaz dari Indonesia.

Salah satu capaiannya yang diusung adalah pidatonya untuk memperkukuh kedaulatan Mesir yang saat itu Sudan masih menjadi bagian Kerajaan Mesir. Seorang Menteri Luar Negeri Mesir kenamaan Abdul Khaliq Tsarwat saat itu juga memuji Syekh Muhammad Al-Ahmadi atas pidatonya itu. "Saya baru tahu bahwa Al-Azhar bukan hanya mengeluarkan ulama Islam, melainkan juga para diplomat yang ulung."

Setahun setelah menjabat kursi Grand Syekh, tepatnya pada 1930 M. / 1349 H. terbitlah pertama kali sebuah majalah (di bawah naungan Masyakhah) yang saat itu dinamai Nur Al-Islam. Pemimpin redaksinya ialah Syekh Muhammad Al-Khidr Husein yang kelak juga menjadi Grand Syekh. Bahkan Grand Syekh pertama yang non-Mesir.

Majalah Nur Al-Islam inilah yang tak berselang-lama berganti nama menjadi Majalah Al-Azhar yang hingga kini masih eksis dan kredibel. Tahun berdirinya masih bisa kita baca saat membuka 1 halaman pertama di setiap edisinya.

Di masa kepemimpinan beliau pula, Al-Azhar melahirkan cikal-bakal universitas modern (kelak pada 1961 baru menjadi universitas modern). Di masa beliau, kurikulum Al-Azhar yang biasanya disampaikan di serambi dengan "syekhul amud" (syekh tiang) diganti menjadi sistem klasikal.

Syekh Muhammad Al-Ahmadi juga melakukan perubahan dengan mengeluarkan pasal dalam AD/ART Al-Azhar (kanun nomer 49 tahun 1930) yang mengatur tentang adanya 3 kuliah: kuliah Usuludin dengan spesialisasi Al-Quran & Hadis (cikal-bakal fakultas Usuludin), kuliah Syariah dengan Fikih & Usul Fikih (cikal-bakal fakultas Syariah wal Qanun), dan kuliah Al-Lughah Al-'Arabiyah (kelak juga menjadi fakultas).

Pelajar lulusan Al-Quran & Hadis diproyeksikan akan bergelut dalam dakwah (da'wah wal irsyad) selain menjadi pengajar agama. Lulusan Fikih wal Usul akan menjadi kadi, muhami, dan mufti. Sementara Lughah diproyeksikan untuk menjadi pengajar bahasa.

Selain kanun tentang 3 kuliah itu, beliau juga mengubah masa belajar di beberapa strata pendidikan. Saat itu, tingkat ibtida'i (setara SMP Mesir sekarang) diubah menjadi 4 tahun-ajaran sementara tingkat tsanawy (setara SMA sekarang) diubah menjadi 5 tahun-ajaran. Serta menutup Al-Qism Al-'Ali, diubahnya menjadi 3 jurusan sepert dijelaskan sebelumnya.

Sementara di masa kepemimpinan beliau juga Al-Azhar membagi 2 jenis spesialisasi: "mihnah" (profesi) & "māddah" (akademis). Yang pertama berdurasi 2 tahun, yang kedua 5 tahun.

Semua ini adalah cikal-bakal Al-Azhar untuk memiliki universitas modern yang di zaman ini menerima mahasiswa dari 112 negara di dunia tiap tahunnya, termasuk Indonesia. Maka tak heran, Syekh Muhammad Al-Ahmadi juga dijuluki: Abul Jāmiah Al-Azhariyah Al-Haditsah atau Bapak Universitas Al-Azhar Modern.

Hari-hari Akhir

Selain kemajuan pesat dalam modernisasi Al-Azhar, di masa Syekh Muhammad Al-Ahmadi juga terjadi kemelut yang luar biasa. Para pelajar & alumni banyak berdemo menuntut banyak hal termasuk di dalamnya urusan ekonomi. Karena sulitnya masa-masa itu, pernah terjadi seorang lulusan Al-Azhar bahkan tidak mendapat gaji untuk pekerjaannya. Ia memilih bertahan bekerja hanya mengharap dengan bertahan itu ia kan tetap dalam pekerjaannya saat keadaan membaik. Krisis ekonomi dan atmosfer politik saat itu yang disebut-sebut memperkeruh suasana hingga Syekh Al-Ahmadi mundur dari kepemimpinannya meski (didukung penuh pihak kerajaan supaya bertahan) pada 23 Muharram 1354 H. yang bertepatan 26 April tahun 1935 M.

Syekh Muhammad Al-Ahmadi Al-Dzowahiri memenuhi panggilan Yang Maha Kuasa pada 20 Jumada Ula 1336 H. / 13 Mei 1944 M. setelah melalui kehidupan dunia yang dihiasi kebaikan & ketakwaan. Meninggalkan beberapa karya dalam bentuk buku sementara warisan lainnya dalam bentuk Al-Azhar modern seperti sekarang, melalui langkah-langkah strategis yang beliau ambil.

Al-Fatihah untuk Grand Syekh Muhammad Al-Ahmadi Al-Dzowahiri. Semoga kita mendapat limpahan manfaat serta berkah dari membaca kisah-hidup beliau. Amin.[]

Al-Gamaleya, 2 Agustus 2019
Mu'hid Rahman
muhidrahman.blogspot.com

*Spesifik mengenai karir Al-Azhar disarikan dari website resmi projek restorasi masjid Al-Azhar: Dzakirat Al-Azhar (alazharmemory.eg)

Menerjemah, menulis, dan menjelajah. Mahasiswa pascasarjana Turats & Manuskrip Arab, Institut Riset dan Studi Arab, Kairo, Mesir