06 August 2019

Syekh Hasan Al-Jabarti Al-Kabir: Penjaga Embrio Kebangkitan Sains di Al-Azhar

Inskripsi di bangunan makam Syekh Hasan Al-Jabarti, Qarafah Al-Mujawirin, Qarafah Kubra, Kairo (@sarkub_mesir)
Beliau bernama lengkap Syaikh Hasan bin Ibrahim bin Hasan bin Ali bin Muhammad bin Abdurrahman al-Idrisi al-Jabarti al-Kabir al-Hanafi. Lahir di Kairo tahun 1110 H/ 1698 M. Kata al-Jabarti yang disematkan di belakang nama beliau adalah nisbah kepada daerah Jabart, sebuah daerah yang saat ini masuk negara Eritrea.

Moyang beliau (syaikh Abdurrohman) datang dari Jabart ke Kairo untuk belajar di al-Azhar dan kemudian menetap di sana. Keluarga al-Jabarti, mulai dari syaikh Abdurrahman sampai syaikh Hasan bin Ali al-Jabarti (kakek), memegang jabatan penting di masjid Al-Azhar yakni, menjadi syaikh Riwaq Jabart (riwaq khusus untuk pelajar dari Jabart).

Tambahan kata "al-Kabir", untuk membedakan antara beliau dan putranya, yakni Syaikh Abdurrahman bin Hasan al-Jabarti, sejarawan kondang dengan masterpiece-nya, ‘Ajaibul Atsar. Sedang kata "al-Hanafi" menunjukkan bahwa beliau mengikuti mazhab Hanafi.

Masa kecil dan perjalanan menuntut ilmu

Al-Jabarti telah menjadi yatim semenjak umur 1 bulan. Ayahnya, Ibrahim, telah wafat di usia yang relatif muda yaitu pada usia 16 tahun. Semenjak itu, beliau di bawah asuhan ibu dan neneknya; ibu dari bapaknya. Hal itu wajar, karena neneknya, sayyidah Zainab binti al-Qadli Abdurrahim al-Juwaini, adalah seorang wanita yang kaya raya. Di samping diasuh oleh ibu dan neneknya, al-Jabarti juga dididik oleh syaikh Muhammad al-Nasyrati, Syaikhul Azhar ke-3 atas wasiat ayahnya. Menginjak umur 10 tahun, beliau sudah hafal Alquran. Selanjutnya beliau menghafal matan-matan ilmu, seperti: Alfiyah Ibnu Malik, Jauhar al-Tauhid, Kanz al-Daqaiq, Sullam al-Munawraq dll.

Dalam satu waktu, ketika beliau berumur 13 tahun, beliau berjalan-jalan bersama pembantunya. Tepat di samping al-Azhar beliau melihat seorang syaikh yang sangat berwibawa dalam kerumunan orang yang menyalaminya. Penasaran dengan itu, beliau mendekat dan ikut menyalaminya. Saat bersalaman, syaikh memandangi al-Jabarti dan beliau bertanya: “Siapa anak ini? Siapa bapaknya?” Setelah mendapat jawaban, syaikh berkata: “Pantas di antara keduanya ada kemiripan. Saya dulu ngaji sama kakekmu (yakni syaikh Hasan bin Ali) dan kakekmu ngaji sama bapakku (Syaikh Hasan bin Ammar As-Syurumbullali, pengarang matan Nur al-Idhah)”, lanjut beliau.

Setelah pertemuan itu, Al-Jabarti mulazamah pada syaikh Hasan bin Hasan bin Ammar As-Syurumbullali hingga beliau wafat. Al-Jabarti diberi izin untuk meriwayatkan semua riwayat yang didapat oleh syaikh Hasan.

Di samping berguru pada syaikh Hasan, Al-Jabarti juga berguru kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Ziyadi al-Hanafi, syaikh Muhammad al-Sajini (paman sekaligus guru Syaikh ‘Abdurrauf As Sajini, Syaikhul Azhar ke-9), syaikh Syihabuddin al-Mallawi, Syaikh Hasan al-Madabighi dan masih banyak syaikh-syaikh yang lain. Kegigihan beliau dalam belajar membuahkan hasil yang setimpal. Di samping ahli agama sekaligus fakih, beliau juga ahli menulis kaligrafi. Hasil kaligrafi beliau biasanya ditempel di masjid-masjid besar, seperti masjid Al-Azhar, masyhad Imam Syafi’i, dsb.

Pada tahun 1144 H, beliau mulai menekuni ilmu eksak, bahasa asing, sejarah dan geografi. Beliau belajar matematika, aritmatika, kimia, fisika, filsafat dll. Beliau juga menguasai bahasa Turki dan Persi. Untuk selanjutnya, beliau belajar ilmu wifiq dan ilmu kimia kepada Syaikh Muhammad Al Ghollani. Setelah matang dalam dua cabang besar ilmu, beliau mulai mengarungi samudera ilmu ketiga. Beliau berangkat haji ke kota-suci dan berbaiat tarekat Naqsyabandiyyah kepada Syaikh Abul Hasan al-Sindi. Di sana beliau juga bertemu Syaikh Ahmad al-Nakhli, Syaikh Abdulloh bin Salim al-Bashri, Syaikh Muhammad Hayat al-Sindi dll.

Murid

Keahlian beliau dalam segala bidang ilmu menjadikan beliau sebagai figur yang sangat diminati oleh para penuntut ilmu dari segala penjuru dunia. Menyebut murid beliau satu persatu bisa dikatakan mustahil. Namun, di antara murid-murid beliau, ada murid-murid yang mulazamah siang malam yang oleh putranya disebutkan di ‘Ajaibul Atsar. Diantara mereka adalah syaikh Muhammad al-Shabban, syaikh Muhammad Arafah al-Dasuqi, syaikh Muhammad Amir al-Kabir dll. Syaikh Ahmad Arusi, syaikhul Azhar ke-11 dan syaikh Ahmad Suja’i juga termasuk murid yang mulazamah kepada beliau. Bahkan, orang-orang eropa datang kepada beliau untuk belajar ilmu arsitektur, seperti dikatakan putranya di kitab 'Ajaibul Atsar. Sampai-sampai para pembantu beliau juga diberi pelajaran ilmu terapan oleh beliau.

Penjaga embrio kebangkitan sains dalam jagad Islam

Dalam kitab Risalah fi al-thoriq ila tsaqofatina, syaikh Mahmud Syakir memasukkan beliau dalam daftar pionir kebangkitan ilmu-pengetahuan. Syaikh Usamah al-Azhari dalam Asanidul Mashriyyin menceritakan bahwa kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi yang dicapai umat Islam bertahan hingga abad 10 H. Selama itu, umat Islam menjadi kiblat dunia.

Memasuki abad 10, berangsur-angsur posisi ini mulai memudar hingga ilmu pengetahuan dan teknologi Islam "malu-malu kucing" untuk menampakkan jati dirinya. Namun demikian, di al-Azhar ilmu ini masih dipelajari. Terbukti ada nama-nama seperti; Syaikh Jalaluddin As-Suyuti, Syaikh Qalyubi (shahibul Hasyiyah ‘alal Minhaj), syaikh Ahmad Damanhuri, Syaikh Hasan al-Jabarti dan Syaikh Hasan Al-‘Athhar. Nama-nama yang disebut diatas, di samping terkenal di bidang keilmuan Islam, mereka juga ahli di bidang ilmu pengetahuan. Khusus tiga nama terakhir, seperti dikutip oleh syaikh Rifa’ah al-Thahtawi dalam Manahijul Albab, mereka adalah generasi terakhir ulama Al-Azhar yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di sisi lain, Syaikh Hasan Al-Atthar sering disebut-sebut sebagai pembuka jalan kebangkitan ilmu pengetahuan di al-Azhar secara khusus dan Mesir secara umum. Padahal beliau adalah murid dari syaikh al-Dasuqi dalam bidang ilmu eksak. Sedang al-Dasuqi adalah murid Syaikh Hasan al-Jabarti dalam bidang eksak dan ilmu lain. Lalu, Syaikh Hasan Al-Atthor mempunyai murid bernama Syaikh Rifa’ah Rafi’ al-Thahtawi, yang peranannya dalam kebangkitan ilmu pengetahuan tidak asing lagi. Jadi tidak berlebihan jika Syaikh Hasan al-Jabarti dan Syaikh Ahmad Al-Damanhuri, Syaikhul Azhar ke-10, kita sebut sebagai penjaga embrio kebangkitan ilmu-pengetahuan (sains) dalam Islam.

Karya-karya

Syaikh Abdurrohman Al-Jabarti, dalam Ajaibul Atsar, menceritakan perihal ayahnya, bahwa ayahnya tidak terlalu banyak mempunyai karya tulis. Namun beliau menyebut setidaknya ada 20 karya tulis yang menjadi buah tangan beliau, di antaranya:

  1. Nuzhatul Ainanin fi zakatil Ma’dain
  2. Al Aqwal Al Mu’ribah an Ahwalil Asyribah
  3. Kasyfullisyam an Mukhoddirotin nishfil Awwal min Dzawl arham; dll.


Keistimewaan

Suatu ketika, Syaikh Mahmud al-Kurdi, guru Thoriqoh dari Syaikh Abdulloh al-Syarqawi, syaikhul Azhar ke-12, melihat beliau sewaktu di salah satu ruwaq di Al-Azhar. Beliau melihatnya sebagai orang yang sangat berwibawa, lain dengan syaikh-syaikh pada umumnya. Hal ini berulang kali beliau rasakan sehingga menjadikan misteri tersendiri bagi beliau. Misteri ini memaksa beliau untuk menanyakannya kepada Syaikh Muhammad bin Salim Al-Hifni, guru beliau sekaligus syaikhul Azhar ke-8. Syaikh Hifni menjawab bahwa beliau adalah orang yang memiliki banyak sirr.

Di antara keistimewaan beliau adalah hobi beliau mengumpulkan kitab-kitab yang lazim dipelajari di al-Azhar dan kemudian dipinjamkan kepada para tholib. Rumah beliau juga menjadi basecamp bagi para pelajar Al-Azhar. Mereka tinggal di rumah beliau dengan fasilitas lengkap dan gratis.

Hubungan dengan Ulama Nusantara

Meski belum ditemukan data yang menunjukkan hubungan-langsung Syaikh Hasan al-Jabarti dengan Ulama Nusantara, setidaknya bisa kita kaitkan antara satu sama lain lewat guru mereka.

Dalam kitab Al-Iqdul Farid, Syaikh Yasin al-Fadani menyebutkan bahwa Syaikh Hasanuddin bin Ja’far al-Falimbani dan putranya, Syaikh Sholih bin Hasanuddin al-Falimbani mendapat ijazah Shohih Muslim dari Syaikh ‘Id Annamrosi.

Di sisi lain, Syaikh ‘Aqib al-Falimbani, guru Syaikh Abdushshomad al-Falimbani mendapat ijazah Sunan Abi Dawud dari Syaikh Abdullah bin Salim al-Bashri dan Syaikh Ahmad an-Nakhli.

Syaikh Abdushshomad al-Falimbani mendapat ijazah kitab Hasyiyah Mallawi ‘ala Syarhil Makudi dari muallifnya langsung yaitu, Syaikh Ahmad bin Abdul Fattah al-Mallawi.

Syaikh ‘Id an-Namrosi, Syaikh Abdullah bin Salim al-Bashri, Syaikh Ahmad an-Nakhli dan Syaikh Ahmad bin Abdul Fattah al-Mallawi adalah guru-guru Syaikh Hasan al-Jabarti.

Jadi kalau kita hubungkan antara Syaikh Hasan al-Jabarti dengan Ulama Nusantara yang disebut di atas, hubungan mereka adalah sama-sama murid dari para syaikh di atas. Mengenai apakah Syaikh Hasan al-Jabarti bertemu dengan ketiga Ulama Nusantara di atas, jawabannya: belum ditemukan datanya.

Wafat

Setelah mendarmakan jiwa-raganya di jalan Allah Swt. lewat jalan ilmu, pada hari Selasa sebelum Dzuhur awal bulan Shafar tahun 1188 H, beliau memenuhi panggilan Rabbnya. Beliau wafat di umur 77 tahun. Esok harinya jenazah beliau disalatkan di masjid Al-Azhar untuk kemudian dikebumikan di samping makam syaikh Khotib al-Syirbini dan syaikh Syamsuddin al-Babili.[]


Lahumul fatihah..
Al-Gamaleya, Kairo, 5-8-2019 M.
*Sumber : Ajaibul Atsar, Risalah Fittoriq Ila Tsaqofatina dan Asanidul Mashriyyin.

Peziarah yang dilahirkan di Kebumen, Jawa Tengah. Sekarang sedang menempuh pendidikan di Univ. Al-Azhar, Kairo.