Namanya adalah Abu Abdillah, Syamsuddin, Muhammad Dimirdasy bin Abdullah Al-Muhammadi Al-Jarkasi Al-Hanafi Al-Khalwati Asy-Syadzuli. Al-Jarkasi adalah nisbah kepada kelompok etnis Jarkas atau Sirkas (Circassian), yaitu etnis yang berasal dari Sirkasia, wilayah di bagian barat laut Kaukasus, berbatasan dengan Laut Hitam. Al-Hanafi adalah nisbah kepada mazhab Imam Abu Hanifah, yaitu mazhab yang dianutnya. Al-Khalwati adalah nisbah kepada tarekat Al-Khalwatiyyah, yaitu tarekat yang dianutnya.
Nisbah Al-Muhammadi
Nisbah Al-Muhammadi adalah nisbah yang disandangkan kepada beliau karena kecintaan dan keranjingannya yang meluap-luap kepada Nabi Muhammad. Tidak luput sesaat pun beliau kecuali menyebut-nyebut Nabi Muhammad dan bersalawat kepadanya untuk meredakan radang di hatinya yang telah dipenuhi rindu kepada sang kekasih, Nabi Muhammad SAW.
Ahmad Rif’at bin Muhammad Amin Al-Isthambuli dalam buku Al-Lughat At-Tarikhiyyah wa Al-Jughrafiyyah menyebutkan ambil bagian Syekh Dimirdasy dalam renovasi Makam Agung Nabi Muhammad di Madinah pada masa Sultan Al-Asyraf Qaitbay. Hal ini menunjukkan hubungan batin Syekh Dimirdasy dengan Nabi Muhammad yang begitu kuat sehingga berhak beliau disandangkan nisbah ruhani Al-Muhammadi pada namanya.
Budak
yang Jujur dan Amanah
Syekh Muhammad Dimirdasy pada mulanya adalah mamluk (budak) Sultan Qaitbay Al-Jarkasi, ia bekerja dan melayani sang sultan dengan senang hati, amanah, dan jujur. Diceritakan bahwa selesai bekerja untuk Sultan Qaitbay, Muhammad Dimirdasy selalu mematikan lampu yang ada di kamarnya, kemudian ia lanjut beribadah. Ketika ditanya mengapa ia mematikan lampu kamarnya, “Minyak ini untuk kebutuhan bekerja pada sang sultan, saya tidak berhak menggunakannya untuk selain itu.”
Menemukan
Guru
Suatu hari Sultan Qaitbay mengutus Muhammad Dimirdasy untuk menyerahkan sekantong berisi beberapa dinar kepada Syekh Ahmad bin ‘Uqbah Al-Hadhrami. Tiba di kediaman Syekh Al-Hadhrami, beliau enggan menerima sekantong berisi dinar itu. Tapi Dimirdasy bersikeras meminta Syekh Al-Hadhrami untuk menerimanya. Akhirnya diterimalah kantong itu, tetapi kemudian beliau memegang erat kantong itu, memerasnya, seakan-akan memeras susu, dan sebuah kejadian di luar nalar terjadi. Kantong itu meneteskan dan mengucurkan darah segar. “Inilah emasmu!?” Ucap Syekh Al-Hadhrami.
Melihat semua kejadian di luar nalar itu Dimirdasy terdiam, kosong, terheran-heran sekaligus takjub. Tanpa pikir panjang ia pun meminta maaf kepada Syekh Al-Hadhrami atas kelancangannya, dan pamit pulang, kembali kepada Sultan Qaitbay. Tidak lama dari kejadian itu Muhammad Dimirdasy memohon kepada sang sultan supaya dimerdekakan. Setelah merdeka ia berguru pada Syekh Ahmad bin 'Uqbah. Setelah merasa cukup ilmu yang diserap dari gurunya, Dimirdasy meminta izin pada gurunya untuk melanglang buana ke beberapa negeri mencari guru lain.
Berkelana
ke Beberapa Negeri
Bebekal izin dari gurunya, Syekh Dimirdasy
berkelana ke beberapa negeri. Hingga tibalah ia di Tibriz, salah satu kota yang
paling masyhur di Adzrabijan. Di sanalah ia bertemu dengan sang guru yang ia cari yaitu Syekh Umar Dada
Al-Aidini Ar-Rusyani At-Tibrizi Al-Khalwati. Tinggallah Syekh Dimirdasy di rumah Syekh
Ar-Rusyani mengabdikan hidupnya untuk menyerap ilmu dari sang guru. Selama berguru
kepadanya, Syekh Dimirdasy dianjurkan berzikir jahr (keras) sebagai ciri khas tarekatnya.
Hingga suatu hari, Syekh Umar Ar-Rusyani
berpesan kepada muridnya, Syekh Dimirdasy, “Pulanglah ke Mesir sampai dekat
waktunya!” Mendengar pesan sang guru, beliau langsung mengiyakan dan segera
berangkat ke Mesir, kembali ke kampung halamannya.
Ke
Tibriz yang Kedua Kali
Tidak berselang lama Syekh Dimirdasy kembali lagi ke Tibriz. Beliau tidak sendiri, Syekh Dimirdasy ditemani oleh dua sahabatnya, Syekh Syahin dan Syekh Santhbay. Ketiganya adalah sama-sama bangsa Sirkasia. Mereka lalu mendapat pengajaran dari sang guru, mereka disuruh berzikir sirr (pelan), mereka disuruh berkhalwat, hingga akhirnya mereka terbebas hatinya dari jeratan kawat dunia dan siap untuk menerima ijazah tarekat.
Mereka bertiga mendapat ijazah tarekat
Al-Khalwatiyyah dari Syekh Umar Ar-Rusyani Al-Khalwati yang bersambung sanadnya
hingga sang pemilik tarekat, Syekh Muhammad bin Nur Al-Khalwati Al-Khawarizmi.
Setelah itu sang guru berpesan supaya mereka pulang ke Mesir menyebarkan
manfaat dan ilmu kepada masyarakatnya.
Berdakwah
dan Mendirikan Zawiah
Tiba di perbatasan memasuki Kairo (sekarang
menjadi Distrik Al-'Abbasiyyah), Syekh Dimirdasy mengungkapkan keinginannya untuk
menetap di tempat itu, “Saya tidak akan memasukinya (Kairo), tapi saya akan
menetap di sini.” Tempat yang ditempati Syekh Dimirdasy ini nanti akan menjadi
zawiah beliau, tempat ia berdakwah dan membimbing muridnya menempuh jalan
menuju Tuhan. Akhirnya tiga sahabat ini berpisah di sini.
●
Syekh
Muhammad Dimirdasy Al-Khalwati memutuskan menetap di bagian seluaran Kairo
karena hatinya berlabuh di sana;
●
Syekh Syahin
Al-Khalwati memutuskan menetap di lereng Bukit Al-Muqaththam, dekat Makam Syekh
Umar bin Al-Faridh, karena hatinya berlabuh di sana;
●
Syekh
Santhbay Al-Khalwati memutuskan menetap di Madrasah As-Sunquriyyah di dekat Bab
An-Nashr.
Mereka berpisah dan berdakwah dengan cara
masing-masing. Kehidupan mereka pun berbeda satu sama lain. Namun ketenaran
Syekh Dimirdasy sudah melingkupi Mesir dan beliau dikenal sebagai guru besar
tarekat Al-Khalwatiyyah untuk seantero Mesir.
Di Mesir Syekh Dimirdasy menikah, membangun
rumah tangga, dan membangun zawiahnya. Dari istrinya, beliau dianugerahi tiga
putra yaitu Muhammad, Ahmad, dan Mushthafa. Putra pertama di kemudian hari akan
menjadi khalifah (pengganti) beliau dalam membimbing murid di bawah naungan
tarekat Ad-Dimirdasyiyyah Al-Khalwatiyyah.
Di zawiahnyalah tempat ia menjadi guru mursyid untuk murid-murid yang sedang
menempuh jalan menuju Tuhan. Syekh Dimirdasy menerapkan amalan bagi
murid-muridnya supaya mengkhatamkan Al-Qur'an setiap hari sekali khataman lalu
menghadiahkannya kepada Nabi Muhammad dan Syekh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi. Beliau
membagi beberapa kelompok, setiap kelompok membaca 20 hizb Al-Qur'an lalu
dikhatamkan sebelum maghrib. Menurut Syekh Muhammad Zahid Al-Kautsari, dari
sini dapat diambil keterangan bahwa Syekh Dimirdasy itu bermazhab Hanafi.
Karena mazhab Hanafi berpendapat bahwa menghadiahkan pahala ibadah apapun
bahkan bacaan Al-Qur'an itu boleh dan sampai kepada orang yang dimaksud.
Gambar 2: Tampak dalam Masjid Al-Muhammadi
Gambar 3: Di antara bingkai yang dipajang di dalam Masjid |
Gambar 4: Bingkai yang memuat biografi singkat Syekh Dimirdasy |
Gambar 5: Di antara bingkai yang dipajang di dalam Masjid |
Mengelola
Kebun Buah
Satu hari Syekh Ibrahim Al-Matbuli mendatangi Syekh Dimirdasy dan berpesan, “Syekh, makanlah dari hasil usaha sendiri, dan jangan kamu makan dari sedekah manusia dan kotoran mereka! Karena nanti di akhirat kebaikanmu akan dibagi-bagi dengan mereka.” Datanglah Syekh Dimirdasy menemui Sultan Qaitbay, beliau meminta izin ingin menjadikan tanah kosong yang berada di dekat zawiahnya jadi kebun kurma. Sultan pun mengizinkan, segara setelah itu beliau memberitahu istrinya dan mulai menggarap tanah.
Menghasilkan
Ulama dan Karya
Tarekat Syekh Dimirdasy semakin meluas dan
menjangkau hampir seantero Mesir. Murid-muridnya bertebaran, zawiahnya penuh
dihuni para salik yang sedang mencari jalan menuju Tuhan. Ada beberapa murid
Syekh Dimirdasy yang terkenal dan meneruskan estafet kepemimpinan tarekat
Al-Khalwatiyyah Ad-Dimirdasyiyyah, selain ketiga putranya.
- Syekh
Jamaluddin, Muhammad bin Muhammad Dimirdasy Al-Khalwati
- Syekh Ahmad
bin Muhammad Dimirdasy Al-Khalwati
- Syekh
Mushthafa bin Muhammad Dimirdasy Al-Khalwati
- Syekh Hasan
Al-Jarkasi Az-Zarkasyi Ar-Rumi Al-Khalwati Ad-Dimirdasyi;
- Syekh
Muhammad Al-Hanuti Al-Khalwati Ad-Dimirdasyi;
- Syekh
Karimuddin bin Az-Zayyat Al-Khalwati Ad-Dimirdasyi
Selain ta’lif
qulub (mencetak murid), beliau juga ta’lif
kutub (menulis kitab). Karya-karya banyak mengupas tentang ilmu tasawuf dan
ilmu tauhid. Beberapa karyanya yang diketahui adalah:
●
Al-Qaul
Al-Farid fi Ma’rifah At-Tauhid
●
Risalah fi
Ma’rifah Al-Haqa’id wa Al-Ma’ani
●
Tuhfah
Ath-Thullab Ar-Ra’imin Hadhrah Al-Wahhab
● Majma’ Al-Asrar wa Kasyf Al-Astar
Pulang
ke Ar-Rafiq Al-A’la
Syekh Muhammad Dimirdasy Al-Muhammadi pulang
ke Hadirat Ar-Rafiq Al-A'la pada malam Kamis, 26 Zulhijah 929 H yaitu di antara
waktu maghrib dan isya. Pendapat inilah yang benar dari beberapa pendapat
tentang tanggal kewafatan beliau. Karena menurut Syekh ‘Abdulghani An-Nabulsi
dalam rihlah-nya yang berjudul Al-Haqiqah wa Al-Majaz tanggal inilah
yang terdapat dalam catatan tangan sang putra, Syekh Muhammad bin Muhammad
Dimirdasy, mengenai wafatnya sang ayah.
Jenazah mulia Syekh Dimirdasy dimakamkan di zawiahnya yang di kemudian hari menjadi masjid yang dinisbahkan kepada beliau. Hingga sekarang masjid tersebut masih berdiri kokoh, dan zuriah Syekh Dimirdasy sampai sekarang masih ada. Di antara zuriah beliau yang punya jasa besar adalah Syekh ‘Abdurrahim Basya Ad-Dimirdasyi, Pendiri Rumah Sakit Ad-Dimirdasy, Hay Al-’Abbasiyyah, Kairo.
Gambar 7: Makam Syekh Muhammad Dimirdasy di area kubah Masjid |
Referensi
Muhammad Zahid Al-Kautsari, Nibras Al-Muhtadi
‘Abdulwahhab Asy-Sya'rani, Ath-Thabaqat
Al-Kubra
‘Abdulwahhab Asy-Sya'rani, Ath-Thabaqat
Al-Wustha
‘Abdurra’uf Al-Munawi, Al-Kawakib Ad-Durriyyah
Najmuddin Al-Ghazzi, Al-Kawakib As-Sa’irah
‘Abdulghani An-Nabulsi, Al-Haqiqah wa Al-Majaz
fi Rihlah Asy-Syam wa Mishr wa Al-Hijaz
Jalal Muhammad Hamadah, Tarajim A’yan Al-Usar
Al-’Ilmiyyah fi Mishr
Ahmad Wildan
Sabtu, 16 Rabiulakhir 1446 H
Harah Zara An-Nawa, Hay Sayidah Fathimah An-Nabawiyyah, Ad-Darb Al-Ahmar, Kairo