18 October 2024

Syekh Muhammad Dimirdasy Al-Muhammadi: Pendiri Tarekat Ad-Dimirdasyiyyah Al-Khalwatiyyah


Namanya adalah Abu Abdillah, Syamsuddin, Muhammad Dimirdasy bin Abdullah Al-Muhammadi Al-Jarkasi Al-Hanafi Al-Khalwati Asy-Syadzuli. Al-Jarkasi adalah nisbah kepada kelompok etnis Jarkas atau Sirkas (Circassian), yaitu etnis yang berasal dari Sirkasia, wilayah di bagian barat laut Kaukasus, berbatasan dengan Laut Hitam. Al-Hanafi adalah nisbah kepada mazhab Imam Abu Hanifah, yaitu mazhab yang dianutnya. Al-Khalwati adalah nisbah kepada tarekat Al-Khalwatiyyah, yaitu tarekat yang dianutnya.


Nisbah Al-Muhammadi

Nisbah Al-Muhammadi adalah nisbah yang disandangkan kepada beliau karena kecintaan dan keranjingannya yang meluap-luap kepada Nabi Muhammad. Tidak luput sesaat pun beliau kecuali menyebut-nyebut Nabi Muhammad dan bersalawat kepadanya untuk meredakan radang di hatinya yang telah dipenuhi rindu kepada sang kekasih, Nabi Muhammad SAW.


Ahmad Rif’at bin Muhammad Amin Al-Isthambuli dalam buku Al-Lughat At-Tarikhiyyah wa Al-Jughrafiyyah menyebutkan ambil bagian Syekh Dimirdasy dalam renovasi Makam Agung Nabi Muhammad di Madinah pada masa Sultan Al-Asyraf Qaitbay. Hal ini menunjukkan hubungan batin Syekh Dimirdasy dengan Nabi Muhammad yang begitu kuat sehingga berhak beliau disandangkan nisbah ruhani Al-Muhammadi pada namanya.


Budak yang Jujur dan Amanah

Syekh Muhammad Dimirdasy pada mulanya adalah mamluk (budak) Sultan Qaitbay Al-Jarkasi, ia bekerja dan melayani sang sultan dengan senang hati, amanah, dan jujur. Diceritakan bahwa selesai bekerja untuk Sultan Qaitbay, Muhammad Dimirdasy selalu mematikan lampu yang ada di kamarnya, kemudian ia lanjut beribadah. Ketika ditanya mengapa ia mematikan lampu kamarnya, “Minyak ini untuk kebutuhan bekerja pada sang sultan, saya tidak berhak menggunakannya untuk selain itu.”

 

Menemukan Guru

Suatu hari Sultan Qaitbay mengutus Muhammad Dimirdasy untuk menyerahkan sekantong berisi beberapa dinar kepada Syekh Ahmad bin ‘Uqbah Al-Hadhrami. Tiba di kediaman Syekh Al-Hadhrami, beliau enggan menerima sekantong berisi dinar itu. Tapi Dimirdasy bersikeras meminta Syekh Al-Hadhrami untuk menerimanya. Akhirnya diterimalah kantong itu, tetapi kemudian beliau memegang erat kantong itu, memerasnya, seakan-akan memeras susu, dan sebuah kejadian di luar nalar terjadi. Kantong itu meneteskan dan mengucurkan darah segar. “Inilah emasmu!?” Ucap Syekh Al-Hadhrami. 


Melihat semua kejadian di luar nalar itu Dimirdasy terdiam, kosong, terheran-heran sekaligus takjub. Tanpa pikir panjang ia pun meminta maaf kepada Syekh Al-Hadhrami atas kelancangannya, dan pamit pulang, kembali kepada Sultan Qaitbay. Tidak lama dari kejadian itu Muhammad Dimirdasy memohon kepada sang sultan supaya dimerdekakan. Setelah merdeka ia berguru pada Syekh Ahmad bin 'Uqbah. Setelah merasa cukup ilmu yang diserap dari gurunya, Dimirdasy meminta izin pada gurunya untuk melanglang buana ke beberapa negeri mencari guru lain.

 

Berkelana ke Beberapa Negeri

Bebekal izin dari gurunya, Syekh Dimirdasy berkelana ke beberapa negeri. Hingga tibalah ia di Tibriz, salah satu kota yang paling masyhur di Adzrabijan. Di sanalah ia bertemu dengan sang guru yang ia cari yaitu Syekh Umar Dada Al-Aidini Ar-Rusyani At-Tibrizi Al-Khalwati. Tinggallah Syekh Dimirdasy di rumah Syekh Ar-Rusyani mengabdikan hidupnya untuk menyerap ilmu dari sang guru. Selama berguru kepadanya, Syekh Dimirdasy dianjurkan berzikir jahr (keras) sebagai ciri khas tarekatnya.

 

Hingga suatu hari, Syekh Umar Ar-Rusyani berpesan kepada muridnya, Syekh Dimirdasy, “Pulanglah ke Mesir sampai dekat waktunya!” Mendengar pesan sang guru, beliau langsung mengiyakan dan segera berangkat ke Mesir, kembali ke kampung halamannya.

 

Ke Tibriz yang Kedua Kali

Tidak berselang lama Syekh Dimirdasy kembali lagi ke Tibriz. Beliau tidak sendiri, Syekh Dimirdasy ditemani oleh dua sahabatnya, Syekh Syahin dan Syekh Santhbay. Ketiganya adalah sama-sama bangsa Sirkasia. Mereka lalu mendapat pengajaran dari sang guru, mereka disuruh berzikir sirr (pelan), mereka disuruh berkhalwat, hingga akhirnya mereka terbebas hatinya dari jeratan kawat dunia dan siap untuk menerima ijazah tarekat.

 

Mereka bertiga mendapat ijazah tarekat Al-Khalwatiyyah dari Syekh Umar Ar-Rusyani Al-Khalwati yang bersambung sanadnya hingga sang pemilik tarekat, Syekh Muhammad bin Nur Al-Khalwati Al-Khawarizmi. Setelah itu sang guru berpesan supaya mereka pulang ke Mesir menyebarkan manfaat dan ilmu kepada masyarakatnya.

 

Berdakwah dan Mendirikan Zawiah

Tiba di perbatasan memasuki Kairo (sekarang menjadi Distrik Al-'Abbasiyyah), Syekh Dimirdasy mengungkapkan keinginannya untuk menetap di tempat itu, “Saya tidak akan memasukinya (Kairo), tapi saya akan menetap di sini.” Tempat yang ditempati Syekh Dimirdasy ini nanti akan menjadi zawiah beliau, tempat ia berdakwah dan membimbing muridnya menempuh jalan menuju Tuhan. Akhirnya tiga sahabat ini berpisah di sini.

     Syekh Muhammad Dimirdasy Al-Khalwati memutuskan menetap di bagian seluaran Kairo karena hatinya berlabuh di sana;

     Syekh Syahin Al-Khalwati memutuskan menetap di lereng Bukit Al-Muqaththam, dekat Makam Syekh Umar bin Al-Faridh, karena hatinya berlabuh di sana;

     Syekh Santhbay Al-Khalwati memutuskan menetap di Madrasah As-Sunquriyyah di dekat Bab An-Nashr.

 

Mereka berpisah dan berdakwah dengan cara masing-masing. Kehidupan mereka pun berbeda satu sama lain. Namun ketenaran Syekh Dimirdasy sudah melingkupi Mesir dan beliau dikenal sebagai guru besar tarekat Al-Khalwatiyyah untuk seantero Mesir.

 

Gambar 1: Masjid Al-Muhammadi

Di Mesir Syekh Dimirdasy menikah, membangun rumah tangga, dan membangun zawiahnya. Dari istrinya, beliau dianugerahi tiga putra yaitu Muhammad, Ahmad, dan Mushthafa. Putra pertama di kemudian hari akan menjadi khalifah (pengganti) beliau dalam membimbing murid di bawah naungan tarekat Ad-Dimirdasyiyyah Al-Khalwatiyyah.

 

Di zawiahnyalah tempat ia menjadi guru mursyid untuk murid-murid yang sedang menempuh jalan menuju Tuhan. Syekh Dimirdasy menerapkan amalan bagi murid-muridnya supaya mengkhatamkan Al-Qur'an setiap hari sekali khataman lalu menghadiahkannya kepada Nabi Muhammad dan Syekh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi. Beliau membagi beberapa kelompok, setiap kelompok membaca 20 hizb Al-Qur'an lalu dikhatamkan sebelum maghrib. Menurut Syekh Muhammad Zahid Al-Kautsari, dari sini dapat diambil keterangan bahwa Syekh Dimirdasy itu bermazhab Hanafi. Karena mazhab Hanafi berpendapat bahwa menghadiahkan pahala ibadah apapun bahkan bacaan Al-Qur'an itu boleh dan sampai kepada orang yang dimaksud.

 

Gambar 2: Tampak dalam Masjid Al-Muhammadi

Gambar 3: Di antara bingkai yang dipajang di dalam Masjid

Gambar 4: Bingkai yang memuat biografi singkat Syekh Dimirdasy

Gambar 5: Di antara bingkai yang dipajang di dalam Masjid 


Mengelola Kebun Buah

Satu hari Syekh Ibrahim Al-Matbuli mendatangi Syekh Dimirdasy dan berpesan, “Syekh, makanlah dari hasil usaha sendiri, dan jangan kamu makan dari sedekah manusia dan kotoran mereka! Karena nanti di akhirat kebaikanmu akan dibagi-bagi dengan mereka.” Datanglah Syekh Dimirdasy menemui Sultan Qaitbay, beliau meminta izin ingin menjadikan tanah kosong yang berada di dekat zawiahnya jadi kebun kurma. Sultan pun mengizinkan, segara setelah itu beliau memberitahu istrinya dan mulai menggarap tanah.

 

Menghasilkan Ulama dan Karya

Tarekat Syekh Dimirdasy semakin meluas dan menjangkau hampir seantero Mesir. Murid-muridnya bertebaran, zawiahnya penuh dihuni para salik yang sedang mencari jalan menuju Tuhan. Ada beberapa murid Syekh Dimirdasy yang terkenal dan meneruskan estafet kepemimpinan tarekat Al-Khalwatiyyah Ad-Dimirdasyiyyah, selain ketiga putranya.

  1. Syekh Jamaluddin, Muhammad bin Muhammad Dimirdasy Al-Khalwati
  2. Syekh Ahmad bin Muhammad Dimirdasy Al-Khalwati
  3. Syekh Mushthafa bin Muhammad Dimirdasy Al-Khalwati
  4. Syekh Hasan Al-Jarkasi Az-Zarkasyi Ar-Rumi Al-Khalwati Ad-Dimirdasyi;
  5. Syekh Muhammad Al-Hanuti Al-Khalwati Ad-Dimirdasyi;
  6. Syekh Karimuddin bin Az-Zayyat Al-Khalwati Ad-Dimirdasyi

 

Selain ta’lif qulub (mencetak murid), beliau juga ta’lif kutub (menulis kitab). Karya-karya banyak mengupas tentang ilmu tasawuf dan ilmu tauhid. Beberapa karyanya yang diketahui adalah:

     Al-Qaul Al-Farid fi Ma’rifah At-Tauhid

     Risalah fi Ma’rifah Al-Haqa’id wa Al-Ma’ani

     Tuhfah Ath-Thullab Ar-Ra’imin Hadhrah Al-Wahhab

     Majma’ Al-Asrar wa Kasyf Al-Astar


Pulang ke Ar-Rafiq Al-A’la

Syekh Muhammad Dimirdasy Al-Muhammadi pulang ke Hadirat Ar-Rafiq Al-A'la pada malam Kamis, 26 Zulhijah 929 H yaitu di antara waktu maghrib dan isya. Pendapat inilah yang benar dari beberapa pendapat tentang tanggal kewafatan beliau. Karena menurut Syekh ‘Abdulghani An-Nabulsi dalam rihlah-nya yang berjudul Al-Haqiqah wa Al-Majaz tanggal inilah yang terdapat dalam catatan tangan sang putra, Syekh Muhammad bin Muhammad Dimirdasy, mengenai wafatnya sang ayah.

 

Gambar 6: Area Kubah Masjid


Jenazah mulia Syekh Dimirdasy dimakamkan di zawiahnya yang di kemudian hari menjadi masjid yang dinisbahkan kepada beliau. Hingga sekarang masjid tersebut masih berdiri kokoh, dan zuriah Syekh Dimirdasy sampai sekarang masih ada. Di antara zuriah beliau yang punya jasa besar adalah Syekh ‘Abdurrahim Basya Ad-Dimirdasyi, Pendiri Rumah Sakit Ad-Dimirdasy, Hay Al-’Abbasiyyah, Kairo.


Gambar 7: Makam Syekh Muhammad Dimirdasy di area kubah Masjid

Referensi

Muhammad Zahid Al-Kautsari, Nibras Al-Muhtadi

‘Abdulwahhab Asy-Sya'rani, Ath-Thabaqat Al-Kubra

‘Abdulwahhab Asy-Sya'rani, Ath-Thabaqat Al-Wustha

‘Abdurra’uf Al-Munawi, Al-Kawakib Ad-Durriyyah

Najmuddin Al-Ghazzi, Al-Kawakib As-Sa’irah

‘Abdulghani An-Nabulsi, Al-Haqiqah wa Al-Majaz fi Rihlah Asy-Syam wa Mishr wa Al-Hijaz

Jalal Muhammad Hamadah, Tarajim A’yan Al-Usar Al-’Ilmiyyah fi Mishr


Ahmad Wildan

Sabtu, 16 Rabiulakhir 1446 H

Harah Zara An-Nawa, Hay Sayidah Fathimah An-Nabawiyyah, Ad-Darb Al-Ahmar, Kairo


Tim website Komunitas Sarkub Mesir.